Dugaan Perkosaan Mahasiswi: Upaya Apa Universitas Untuk Bisa Menangani Kekerasan Seksual?

Harian Press. Percakapan berkepanjangan tentang dugaan perkosaan Agni, seorang mahasiswi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta saat KKN memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana lembaga-lembaga dengan komunitas besar seperti universitas, menangani kasus-kasus dugaan kekerasan atau pelecehan seksual.

Terduga pemerkosa juga mahasiswa UGM. Rektor Panut Mulyono menyatakan kepada wartawan Jumat (09/11) bahwa pihaknya berharap terduga korban dan pelaku "nanti lulus dari UGM menjadi orang-orang yang lebih baik dari yang sekarang."

Belum semua perguruan tinggi di Indonesia, menurut catatan Komnas Perempuan, memiliki prosedur dalam menangani kekerasan seksual.

"Tidak semua kampus punya SOP menangani kekerasan seksual. Padahal di level SMA saja sudah ada Permendikbud Nomor 82/2015 yang mengatur sanksi untuk kekerasan dan bully (perisakan), termasuk penanganannya," ujar Komisioner Komnas Perempuan, Masruchah, kepada Quiniawati Pasaribu.

Dalam catatan Komnas Perempuan, kata Masruchah, baru Sekolah Tinggi Teologi Jakarta yang memiliki pedoman antikekerasan di lembaga pendidikan.

Menurut Masruchah, penting bagi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemendikti) untuk menetapkan bahwa setiap universitas harus memiliki prosedur untuk kasus kekerasan seksual.

Peristiwa yang menimpa mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan nama samaran Agni terjadi pertengahan tahun lalu di Maluku dan sudah diadukan ke pihak universitas, kata Suharti, direktur Rifka Annisa, lembaga yang mendampingi korban.


Kasus ini jadi isu nasional setelah media mahasiswa UGM, Balairungpress.com mengungkapnya, dengan paparan-paparan peristiwa dugaan serangan seksual yang detil, yang memunculkan perdebatan tersendiri tentang sejauh mana rincian serangan seksual bisa dipaparkan.

Balairung menyebutkan, rincian seperti itu mereka tuliskan berdasarkan persetujuan korban.
Kasusnya dianggap selesai?

Peristiwanya terjadi saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Maluku tahun lalu. Terduga pelakunya adalah sesama mahasisa peserta KKN. Tuduhan perkosaan disebutkan berlangsung saat keduanya terpaksa menginap di kamar yang sama di rumah seorang penduduk.

Juru Bicara UGM, Iva Ariani, mengatakan kasus tersebut sudah dinyatakan selesai oleh universitas dengan dijalankannya seluruh rekomendasi yang dikeluarkan Tim Investigasi yang terdiri dari Tim Psikologi, Fakultas Teknik serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM.

Rekomendasi itu di antaranya memperbaiki nilai Kuliah Kerja Nyata (KKN) Agni selaku korban yang semula C menjadi A/B, ganti rugi atas uang kuliah, dan mendapat fasilitas konseling.

"Sebagian besar rekomendasi sudah dilakukan, korban pun kini dalam pendampingan psikologi UGM," ujar Juru Bicara dan Protokol UGM.

Selain itu, kata Iva Ariani, terduga pelaku juga masih dikenai sanksi, yakni pengulangan KKN di semester berikutnya.

"Dia (terduga pelaku) sudah mendapat sanksi yaitu langsung ditarik dari lokasi KKN di Seram dan mendapat skorsing satu semester untuk KKN. Tapi bisa mengikuti KKN lagi setelah setahun ke depan, dan itu sudah dijalankan semua," sambungnya.

Itu berarti, kata Iva, selama proses itu belum selesai maka terduga pelaku belum bisa diluluskan.
Jalan buntu

Sementara itu, Suharti, direktur Rifka Annisa, lembaga yang mendampingi korban, menyatakan telah menyampaikan informasi tentang hak-hak korban kepada Agni dan mendiskusikan alternatif penyelesaian melalui jalur hukum.

Pendampingan oleh Rifka Annisa mulai dilakukan sejak September 2017 setelah korban datang untuk mengakses layanan di kantornya.

Masalahnya, sering kali proses hukum berhadapan dengan jalan buntu, karena berbagai faktor, kata Suharti. Akibatnya, korban tidak memperoleh keadilan.

"Dengan ada kendala hukum tersebut, penting dicari alternatif penyelesaian yang memberikan perlindungan dan rasa keadilan bagi korban dengan mengutamakan prinsip persetujuan dari korban," ujar Suharti.

Yang juga sangat penting dan mendesak, kata Komisioner Komnas Perempuan, Masruchah, adalah dibangunnya mekanisme dan lembaga khusus di perguruan tinggi untuk menangani kasus pelecehan atau serangan seksual.

"Seharusnya di perguruan-perguruan tinggi (lain) harus ada pula hal yang seperti (di STT Jakarta) ini, sebab fakta kasus kekerasan seksual di usia kuliah cukup banyak," sambungnya.

Di STT Jakarta, kata Masruchah sejak mahasiswa baru mulai belajar, sudah diperkenalkan dengan pedoman perilaku anti kekerasan seksual.

"Pedoman itu menjadi pijakan yang ditandatangani oleh semua pihak, bahwa mereka tidak boleh melakukan kekerasan seksual dalam bentuk apapun. Kalau melakukan akan siap diberhentikan atau ada tindakan dari kampus. Sanksinya tegas," jelas Masruchah.

Sementara di Universitas Indonesia (UI) Jakarta, kata Masruchah, baru sebatas pengenalan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan belum menjadi kebijakan rektorat.

"Itu juga karena jumlah teman-teman aktivis perempuan UI aktif, termasuk di kampanye 16 Hari Antikekerasan."

Dalam pantauan BBC News Indonesia, di Universitas Padjadjaran di Bandung sedang dilakukan upaya untuk membangun mekanisme penanaganan kejahatan seksual, melalui Padjadjaran Resource Center on Gender & Human Rights Studies (PadGHRS).

Seorang pengurusnya mengatakan, mereka sedang menyiapkan survey kekerasan seksual di lima kampus. Namun untuk pernyataan resmi, ia meminta waktu untuk membicarakannya lebih dahulu.
Fenomena Gunung Es

Data Perempuan Mahardhika tahun 2015 menyebut 20 kampus utama di Pulau Jawa tidak memiliki mekanisme penanganan yang sistematis untuk merespon pelecehan maupun kekerasan seksual.

"Kampus-kampus itu hanya menerima dan merespon dengan simpati atau empati. Sampai di situ saja," kata Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika.

Munculnya kasus kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada, menurut Mutiara, menunjukkan fenomena gunung es di lingkup kampus. Namun yang ia sayangkan, lembaga pendidikan tinggi tak memperlakukan pelecehan maupun kekerasan seksual sebagai tindak pidana.

"Kasus di UGM merepresentasikan bagaimana situasi kampus-kampus lain serupa. Kepada pelaku, masih diberikan semacam pemakluman dengan dasar 'khilaf'. Sehingga pelaku malah diberikan pendampingan psikologis."

Menurutnya, dalam menangani kasus ini pihak kampus semestinya memberikan masukan kepada korban tentang jalur hukum sebagai salah satu yang bisa dijalani untuk memperoleh keadilan.

"Jadi kampus jangan menakut-nakuti. Karena kalau korban tidak mengadu ke polisi itu, biasanya karena takut dengan ancaman pelaku. Takut disalahkan. Kalau dia (korban) tidak minta (dilaporkan ke polisi) karena korban posisinya selalu lemah dan tak siap dengan sikap keluarganya," ujar Masruchah.

Dia juga mengatakan rekomendasi Tim Investigasi bentukan UGM yang tidak memberhentikan pelaku dan malah memberikan pendampingan psikologis, menunjukkan ketidakberpihakan kepada korban.

Ia menambahkan, kasus ini harus jadi momen reformatif bagi seluruh universitas, "untuk mendorong kurikulum/mata ajar tentang HAM gender, membangun sistem/layanan pengaduan dan penanganan kekerasan seksual yang ramah pada korban," katanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kemenlu Akhirnya Pulangkan Staf KBRI Terkait Kasus Suap 3 Warga Singapura

Pemerintah Merancang Hukum Omnibus Untuk Kemudahan Perizinan Usaha

Rumor Hukum Di Balik Polemik Ambang Batas SKD CPNS Tahun 2018